Tentang Wisata Susur Sungai, Kembalinya Fungsi Sungai, dan Harapan di Pundak Anak Cucu Naga Posted on Desember 10, 2024 By gurudionindonesia Oleh : Agus Puguh Santosa Dua anak kami sedang mengamati pemandangan di sepanjang bantaran Sungai Martapura (foto: koleksi pribadi) Siang itu cuaca begitu terik di langit Banjarmasin. Namun kondisi ini tidak menyurutkan langkah kami sekeluarga untuk menuju ke dermaga kelotok (1) yang berlokasi tak jauh dari Patung Bekantan (Nasalis narvatus), di kawasan Jalan Kapten Piere Tendean, Banjarmasin. Waktu menunjukkan sekitar pukul 12.00, saat kami bertolak dengan moda transportasi roda dua menuju lokasi. Ini adalah kali kedua, kami mengajak dua anak kami yang masih balita untuk menyusuri Sungai Martapura melalui kegiatan “Wisata Susur Sungai” dengan perahu kelotok. Perjalanan kami siang itu menuju Kampung Hijau yang kami tempuh selama sekitar 20 menit. Peta lokasi dermaga di Patung Bekantan (sumber: Google Maps) Kondisi Banjarmasin Dulu dan Kini Di sepanjang perjalanan, kedua anak kami tampak menikmati pemandangan di bantaran Sungai Martapura berikut aktivitas warga yang berlangsung di emperan rumah panggung yang berderet. Puluhan rumah yang dicat dengan warna hijau senada itu tampak menarik perhatian mereka. Sekali waktu kami berpapasan dengan sekelompok anak-anak yang berenang dan menyelam di kedalaman air sungai. Mereka tampak riang gembira sembari bercanda dan berdialog lepas satu sama lain. Di beberapa sudut, mengapung tumbuhan eceng gondok (Pontederia crassipes) di permukaan air – yang bergelombang dimainkan pusaran air, yang tercipta dari mesin perahu kelotok yang kami tumpangi. Dalam bahasa Banjar, tumbuhan ini dikenal dengan nama ilung. Tiba-tiba ingatan saya kembali di tahun-tahun awal kehadiran saya di kota ini tahun 2006 silam. Kala itu diberitakan bahwa Kota Banjarmasin pernah masuk peringkat sebagai kota terkotor seindonesia. Karena penasaran, saya sempat berkeliling kesana-kemari. Dan perhatian saya kala itu salah satunya tertuju pada beberapa ruas sungai yang ada. Dari hasil temuan di lapangan, air sungai terlihat hitam pekat, berlumpur, dan berbau; dengan tumpukan sampah yang mengapung di sana-sini. Di beberapa ruas jalan, sampah dibiarkan teronggok dan berceceran begitu saja, dengan kerumunan lalat dan aroma tak sedap. Namun kondisi di atas mulai mengalami perbaikan secara bertahap di tahun-tahun selanjutnya. Meski tidak semudah membalikkan kedua tangan, terbukti di tahun 2007, Kota Banjarmasin mulai berhasil keluar dari predikat “kota terkotor”. Sebagai kota yang dibangun di atas delta-delta di antara ruas sungai-sungai yang ada, topografi dan kontur tanah di kota ini memang berbeda dengan daerah-daerah lainnya di Indonesia. Di masa itu, sungai-sungai yang ada tak mampu menjalankan ragam fungsinya dengan baik: sebagai sarana drainase, sumber energi, sumber air bersih, ekosistem yang mendukung keanekaragaman hayati, juga sebagai sarana transportasi air dan objek wisata. Kondisi sungai-sungai besar mengalami pendangkalan, bahkan sebagian sungai-sungai kecil mengalami penyempitan dan bahkan mati. Menurut beberapa artikel yang pernah saya baca, beberapa masalah yang menjadi pencetusnya antara lain: banyak gedung dan ruko yang dibangun dengan mematikan fungsi sungai-sungai yang ada. Di kawasan resapan air justru dibangun pusat perkantoran, pertokoan, dan perumahan penduduk yang tidak mempergunakan teknik bangunan rumah panggung; melainkan dengan proses penimbunan (pengurugan) tanah dan betonisasi. Dengan berkurangnya daerah resapan air, maka dampaknya akan sangat terasa di kala musim penghujan tiba. Genangan air akan mudah tercipta, khususnya di wilayahdi mana-mana dan memicu terjadinya banjir. Keindahan Sungai dalam Catatan Sejarah Sejumlah pengunjung wisata susur sungai menaiki perahu kelotok (foto: dokumentasi pribadi) Menurut catatan sejarah yang dituturkan Ahmad Barjie B. dalam sebuah tulisannya (2), di era 1970-an sudah disusun master plan pengembangan tata ruang kota yang bertujuan untuk mempertahankan identitas Banjarmasin sebagai kota sungai. Untuk mencapai tujuan tersebut, setiap bangunan yang didirikan harus direkonstruksi dengan tiang panggung dan penimbunan tanah harus dihindari, untuk mempertahankan kondisi rawa yang ada agar tetap berfungsi sebagai daerah resapan air. Pada medio 1982, jukung, perahu, dan kelotok masih bisa lewat di jalur sungai yang ada di sisi badan Jalan Ahmad Yani. Di masa itu ketersediaan air PDAM masih langka, sehingga sebagian orang rela antre membeli air untuk keperluan minum dan memasak. Secara umum, masyarakat dapat memenuhi kebutuhan air untuk keperluan mandi dan mencuci dengan mengambil langsung dari aliran sungai yang ada. Selain itu, kondisi air sungai yang masih bersahabat tersebut menjadi tempat berkembang biak yang baik bagi aneka spesies ikan secara alami. Akibat pola hidup masyarakat yang kurang mempedulikan kelestarian sungai dan keanekaragaman hayati di dalamnya, sungai-sungai yang ada di Kota Banjarmasin pada akhirnya mengalami kerusakan yang luar biasa. Dan realita yang berlangsung bertahun-tahun inilah yang di kemudian hari ikut memberikan kontribusi kepada “predikat kota terkotor” yang disematkan kepada Kota Seribu Sungai ini di 2006 silam. Mengembalikan Sungai ke Fungsi Asal Sampah yang tertimbun di antara tumbuhan eceng gondok di ruas sungai di Pal 11, Jalan Ahmad Yani (foto: koleksi pribadi) Untuk mengembalikan fungsi sungai-sungai yang ada di Kota Banjarmasin ke bentuk awalnya memang membutuhkan proses panjang dan berkelanjutan. Apa yang saya saksikan siang itu bersama istri dan anak-anak saya selama menyusuri aliran Sungai Martapura adalah bukti nyata keseriusan Pemerintah Kota Banjarmasin dan jajaran terkait lainnya. Kini wisata susur sungai di Kota Banjarmasin menjadi salah satu pilihan utama untuk menghabiskan waktu di masa liburan atau akhir pekan. Tarif kelotok yang cukup terjangkau menjadikan wisata yang satu ini banyak peminatnya, baik oleh masyarakat setempat, wisatawan lokal, maupun wisatawan mancanegara. Jika kita beruntung, di saat menyusuri aliran sungai yang ada, akan terlihat ikan atau segerombolan ikan yang mengapung di permukaan air. Ragam jenis ikan lokal yang dapat kita jumpai saat ini pun semakin berkurang. Sehingga tidak berlebihan kiranya bila Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Kalimantan Selatan dalam beberapa kesempatan menggelar Kegiatan “Restocking Ikan Lokal” (3), misalnya saja yang dilaksanakan pada 11 September 2024 lalu di Desa Sungai Gampa, Kecamatan Banua Anyar, dengan melepas 50 ribu benih ikan betok atau papuyu (Anabas testudineus). Saya pribadi meyakini, beragam usaha yang ditempuh di atas bermuara pada tujuan untuk mengembalikan sungai-sungai yang ada ke fungsi awalnya sebagai sebuah ekosistem. Adapun sejumlah ciri yang harus dimiliki oleh sungai-sungai yang ada di Kota Banjarmasin sebagai sebuah ekosistem antara lain: aliran air yang terus-menerus dari hulu ke hilir tanpa terputus, adanya perubahan yang terjadi secara terus-menerus, dan adanya keragaman flora dan fauna yang tinggal di sepanjang aliran sungai. Sekitar tahun 2008 silam, dalam beberapa kesempatan berkunjung ke bantaran Sungai Martapura yang ada di Kota Banjarmasin, saya masih kerap menjumpai satu dua ekor elang bondol (Haliastur indus) yang terbang melayang-layang di atas permukaan air. Sekali waktu burung-burung itu menukik untuk mendapatkan mangsanya. Namun di tahun 2024 ini, pemandangan tersebut tidak pernah lagi saya temukan. Di sini saya menduga bahwa keanekaragaman hayati di sepanjang aliran Sungai Martapura telah berkurang dibanding kondisinya di tahun-tahun sebelumnya. Dan apa yang terjadi saat ini tentu mempunyai keterkaitan dengan peristiwa atau kejadian yang berlangsung di masa lalu. Sebuah pertanyaan besar muncul di benak saya pribadi, apakah kondisi ini ke depannya akan mengalami perbaikan, atau justru mengarah kepada kondisi yang lebih buruk? Harapan di Pundak Anak Cucu Naga Seorang warga sedang mencari ikan di atas jukung di sepanjang bantaran Sungai Martapura berlatar Kampung Hijau (foto: koleksi pribadi) Menurut Prof. Emil Salim, Founder Yayasan KEHATI, keanekaragaman hayati adalah kekayaan yang dimiliki bangsa kita. Menurutnya, Indonesia adalah negara terkaya di dalam keanekaragaman hayati di kawasan Asia, mengalahkan Cina, India, dan negara-negara lainnya. Mantan Menteri Lingkungan Hidup yang pernah menghabiskan sebagian masa kecilnya di Kota Seribu Sungai di sepanjang tahun 1933 hingga 1939 ini meyakini bahwa penyelamatan keanekaragaman hayati adalah untuk generasi yang akan datang. Sedangkan persoalan keanekaragaman hayati kian hari akan semakin kompleks. Prof. Emil berharap, generasi muda saat ini tidak hanya belajar tentang keanekaragaman hayati saja, melainkan juga harus belajar untuk membela, mempertahankan, membangun, dan mengembangkan keanekaragaman hayati supaya tetap jaya. Sebagai warga Kota Seribu Sungai, saya dan segenap lapisan masyarakat di kota ini punya panggilan yang sama untuk mendukung proses pengembalian sungai-sungai ke fungsi awalnya. Usaha bersama ini perlu mendapat dukungan dari semua pihak dan dilakukan secara berkesinambungan dari generasi masa kini ke generasi-generasi selanjutnya. Sebab akan sia-sia belaka jika usaha yang sudah dirintis selama sekitar 10 tahun terakhir ini tidak ada kelanjutannya di tahun-tahun mendatang. Tak terbayangkan bila predikat “kota terkotor” di Indonesia kembali disematkan kepada Kota Banjarmasin, seperti yang pernah terjadi 18 tahun silam. Tak terbayangkan jika sungai-sungai di Kota Seribu Sungai ini mengalami pendangkalan, penyempitan, hingga kematian, seperti yang terjadi di tahun-tahun terdahulu. Sebab bencana niscaya akan selalu mengintai setiap warga masyarakat di kota ini; termasuk urang asli Banjar yang dikenal sebagai “anak cucu naga” (5) juga akan terkena dampaknya. #KEHATI @yayasankehati @bwkehati @betahita.id DAFTAR CATATAN : (1) Kelotok = perahu bermotor (di daerah Kalimantan Selatan) terbuat dari kayu untuk kendaraan sungai. (2) Ahmad Barjie B., “Rindu Mandi di Sungai”, dalam buku Refleksi Banua Banjar”, Penerbit Pustaka Agung Kesultanan Banjar, 2011. (3) Dislutkan Prov. Kalsel Lakukan Kegiatan Re-Stocking Ikan Lokal, di alamat: https://dislautkan.kalselprov.go.id/page/wb/informasi/55/81_Dislutkan-Prov.-Kalsel-Lakukan-Kegiatan-Re-Stocking-Ikan-Lokal (4) Ekosistem Sungai: Pengertian, Ciri-ciri, Rantai Makanan, dan Contoh, di alamat: https://www.detik.com/edu/detikpedia/d-7619780/ekosistem-sungai-pengertian-ciri-ciri-rantai-makanan-dan-contoh. (5) Ahmad Barjie B., “Anak Cucu Naga Merusak Sungai”, dimuat dalam Banjarmasin Post edisi 1 Oktober 2005. Post Views: 8 #KEHATI anakcucunagabanjarbanjarmasinbetahita.idbwkehatiekosistemsungaiemilsalimkeanekaragamanhayatikotabanjarmasinkotaseribusungaisungaimartapurasusursungaiyayasankehati